Kamis, 27 Juni 2013

TATA RUANG WILAYAH JEMBER: AKAR MASALAH DAN SOLUSI


Oleh: Sayyidah Najwa, S.P 

PENDAHULUAN

Pada bulan Maret 2013 yang lalu sempat ramai di media mengenai isu RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kab.Jember tahun 2011-2031 yang disinyalir sebagian naskahnya merupakan hasil jiplakan dari RTRW Kab.Kebumen dan Kab.Wonosobo. Tim verifikasi Lembaga Penelitian Universitas Jember menyimpulkan bahwa 10 dosen yang terlibat sebagai tim ahli penyusunan matrik Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), peta dan draf Raperda tentang RTRW Kab.Jember, ceroboh dan kurang profesional. Kasus memalukan ini cukup menjadi bukti bahwa para pengambil kebijakan kurang serius bekerja demi kepentingan rakyat. Bagaimana bisa RTRW yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu digarap dengan cara yang terkesan asal-asalan dan sekedar formalitas? Belum lagi realitas di lapangan banyak terjadi tataguna lahan yang tidak sesuai dengan RTRW bahkan hingga berakhir dengan bencana. Banjir, tanah longsor, kekeringan, kenaikan suhu, hingga angin puting beliung seolah menjadi musibah rutin yang tidak mampu dicegah.
Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di kabupaten Jember pada 1 Januari 2006 salah satu penyebabnya adalah curah hujan sangat tinggi selama tiga hari berturut-turut. Di samping itu, peristiwa banjir bandang yang terjadi di kawasan Sub DAS Kali Putih kecamatan Panti kabupaten Jember tersebut diprediksi akibat dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro yang terletak di bagian utara Jember. Hutan sebagai pelindung banyak yang ditebang sehingga gundul. Hal ini dapat dilihat dari longsoran tanah bercampur air hujan menerjang dan yang membawa balok-balok kayu. Balok-balok kayu terbawa banjir dominan dari Pohon Jati, Pinus, Mahoni yang merupakan ciri dari hasil hutan produksi. Peristiwa ini merupakan kesalahan dari penataan ruang wilayah Jember. Pegunungan Argopuro sebagai kawasan lindung yang merupakan daerah resapan air (catchment area), beralih menjadi perkebunan kakao dan kopi, serta hutan produksi kemudian terjadi penebangan yang berakibat penggundulan (Putra, 2008). Akibatnya, saat hujan di hulu maka daerah hilir rawan banjir dan longsor sedangkan saat kemarau rawan kekeringan. Selain itu, Jember yang dahulunya tergolong daerah bersuhu rendah kini makin panas. Daerah yang terkenal berbukit dan dahulunya dijuluki kota seribu gumuk kini tak mampu menghalau angin. Dimanakah letak kesalahan tata ruang wilayah Jember dan bagaimana solusinya?
AKAR MASALAH TATA RUANG JEMBER
Kabupaten Jember adalah sebuah kawasan yang terletak pada bagian timur wilayah Propinsi Jawa Timur. Luas wilayah Kabupaten Jember adalah 3.293,34 km2 (atau sebesar 7% dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur) dengan karakter topografi berbukit hingga pegunungan di sisi utara dan timur serta merupakan dataran subur yang luas ke arah selatan. Secara garis besar wilayah Kabupaten Jember dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Termasuk ke dalam kedua kawasan tersebut adalah kawasan rawan bencana yang berupa tanah longsor yang terdapat di berbagai kecamatan. Tanah longsor tersebut berada di daerah-daerah yang memiliki tingkat erosi tinggi, kawasan pantai, dan tanah-tanah gundul di kawasan hutang lindung (Widodo, 2011).
Jika kita pelajari RTRW Kab.Jember maka dapat dicermati bahwa visi penataan ruangnya sangat kental dengan nuansa kepentingan para pemilik modal. Bupati Djalal sendiri menyatakan hendak menjadikan Jember sebagai wilayah industri dan perdagangan, termasuk di dalamnya pengembangan area pertambangan yang notabene terdapat di kawasan Taman Nasional Meru Betiri yakni hutan lindung. Menurut data RTRW Kabupaten Jember banyak sekali ditemukan penyimpangan. Data tersebut menunjukkan banyak alih fungsi lahan yang seharusnya tidak terjadi, seperti rencana lahan yang seharunya digunakan sebagai kawasan perkebunan seluas 255,30  km2 menjadi lebih luas 265,14 km2. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dalam hal tata guna lahan, penambahan area perkebunan tersebut berasal dari konversi lahan hutan lindung yang seharusnya keutuhan areanya dijaga guna melestarikan keseimbangan alam.
Alih fungsi lahan yang juga tidak tepat adalah berubahnya tanah-tanah gumuk dan pertanian menjadi area bisnis properti dan pertokoan bahkan mall. Gumuk-gumuk sebagai ekosistem alami penyeimbang tata ruang, penahan erosi, penghalau angin kencang, penampung cadangan air saat kemarau, kini dikeruk habis-habisan hingga rata dengan tanah lalu disulap menjadi perumahan-perumahan mahal yang tidak terjangkau rakyat dan pada akhirnya banyak yang kosong selama bertahun-tahun, hanya menjadi aset pribadi para pemodal. Akibatnya rusaklah ekosistem alami, kekeringan dan angin kencang melanda Jember. Lahan pertanian beralih fungsi, sebaliknya sebagian area hutan lindung ditanami komoditas pertanian akibatnya erosi, banjir, dan longsor karena tanah tidak lagi memiliki tanaman keras yang akarnya panjang untuk menyerap air dan menghindari pengikisan. Berikut tabel potensi Jember dan kondisinya:
Potensi
Luas/jumlah
Rusak/beralih fungsi
Lokasi
Hutan lindung
39.821,8 Ha
6.600 Ha
Hyang-Argopuro, Meru Betiri, Baban Silosanen
Hutan produksi
32.038,48 Ha
10.400 Ha
Panti, Bangsalsari, Jelbuk, Sumberbaru
Hutan suaka alam/wisata/taman nasional
70.000 Ha
31.163 Ha
Curahmanis, Nusa Barung, Peg.Hyang, Meru Betiri
Lahan pertanian
85.000 Ha
4.250 Ha
Menyebar
Lahan perkebunan (kopi, kakao, dll)
21.523 Ha

Silo, Panti, Sumberbaru, Tanggul
Gumuk
1500 buah
503 buah
Sukowono, Kalisat, Mayang, Puger
Tambang emas, perak, tembaga, galena


Silo dan Tempurejo
Pasir besi


Kencong, Ambulu, Puger
Migas


Gumukmas, Ambulu, Balung, Jombang, Umbulsari, Wuluhan, Puger, Kencong
Panas bumi


Panti, Sukorambi, dan Bangsalsari
Perairan
8.338,5 km2
80% terumbu karang rusak, pendangkalan
Puger, Kencong, Ambulu, Gumukmas dan Tempurejo

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Tidak heran karena memang perundang-undangan yang dibuat memberikan pelegalan atas tindakan tersebut. Salah satunya dapat kita baca dalam PP No.16 tahun 2003 tentang Penatagunaan Tanah pasal (3) huruf d menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan”. Artinya bahwa kepemilikan atas tanah tidak dibatasi asalkan suatu pihak memiliki modal untuk membeli tanah. Sehingga meskipun dalam UU No.26 tahun 2007 pasal 7 tentang Penataan Ruang ayat (1) menyebutkan Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan ayat (2) menyebutkan “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah”, namun ayat (3) mengatur “Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Oleh karena itu “kemakmuran rakyat” yang dimaksud di atas akhirnya dapat diterjemahkan menjadi “kemakmuran pemodal”. Dengan kata lain, ruh dari RTRW Jember adalah liberalisasi sektor publik.
Berbicara tentang tata ruang memang tidak dapat dipisahkan dari visi kemakmuran rakyat, sehingga Bupati Djalal pun dengan pongahnya mengklaim bahwa implementasi RTRW Jember yang telah dijalankannya memberikan sumbangan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, terbukti dengan angka pertumbuhan sebesar 7,35% (melampaui Jatim 7,27%). Pertanyaannya adalah benarkah angka tersebut merupakan representasi dari kemakmuran seluruh rakyat?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, Nela Octaviana mengatakan jumlah warga miskin yang disurvei pada PPLS tahun 2011 sebanyak 341.000 warga kategori miskin dan 90% di antaranya golongan menengah ke bawah yang dikategorikan penerima raskin. Bahkan Jember merupakan kota yang paling tinggi jumlah penduduk miskinnya di Jatim. Penduduk miskin terbesar berada di area perkebunan dan sekitar hutan. Ini anomali bagi pertumbuhan ekonomi di Jember (Pemkab Jember, 2010). Itu data versi BPS. Sedangkan menurut Dinas Kesehatan Jember yang dilansir Kompas.com angka kemiskinan selama 2011 di Jember tidak juga turun, justru bertambah. Ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah keluarga yang menyandang predikat kurang mampu agar tercatat sebagai peserta jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Tahun lalu pemegang kartu Jamkesmas di Jember berjumlah 382.229 orang, sedang penerima Jamkesda 13.061 orang. Tahun ini pemegang Jamkesmas meningkat menjadi 395.360 orang dan Jamkesda menjadi 33.061 orang. Itu baru yang tercatat secara formal di lembaga pemerintah, belum realitas di lapangan tentu lebih banyak lagi.
Jika kita telaah ketimpangan tersebut, dapat dipahami bahwa fenomena ini terjadi setidaknya karena 3 faktor. Pertama, adanya kesalahan paradigmatif dalam memahami ukuran kemakmuran. Kemakmuran diukur dari besarnya pertumbuhan ekonomi, padahal pertumbuhan ekonomi hanyalah prosentase peningkatan PDRB dimana rumus PDRB adalah jumlah dari pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pengeluaran investasi, dengan nilai ekspor dikurangi impor, sama sekali tidak mewakili kesejahteraan tiap-tiap warga negara. Wajar bila sering ada paradoks antara tingginya pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Paradigma yang salah tersebut kemudian digunakan sebagai landasan untuk mengatur tata ruang wilayah, akibatnya terjadilah tata guna lahan yang serampangan sesuai keinginan para pemodal bukan berbasis kesejahteraan warga dan kelestarian ekosistem.
Kedua, kesalahan memahami konsep kepemilikan, yakni hanya ada 2 kepemilikan yang diakui: kepemilikan individu (termasuk swasta) dan negara. Dengan diberlakukannya 2 kepemilikan ini wajar jika tidak ada ruang bagi kepentingan publik. Seluruh lahan yang ada dianggap milik negara hingga ada individu/swasta yang mampu membelinya, jika ada yang membutuhkan lahan namun tidak memiliki modal maka siap-siap saja gigit jari karena negara tidak mungkin memberikannya secara cuma-cuma sekalipun itu menyangkut nyawa warga maupun kepentingan publik. Sebaliknya, jika ada yang memiliki modal hendak membeli suatu lahan bahkan pulau sekalipun maka akan diberikan walau disana terdapat SDA dalam jumlah besar yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, adanya kebijakan tata ruang yang pragmatis dan oportunis, lahir dari rahim pemerintah yang hanya mengutamakan keuntungan material jangka pendek dan tidak merata bahkan sarat kepentingan pemodal. Tidak peduli lagi apakah kebijakan tersebut memberikan efek jangka panjang yang jauh lebih mahal. Hal yang terpenting bagi mereka, kebijakan mana yang dapat menghasilkan uang dalam waktu singkat walaupun harus menjual hutan lindung, gumuk, bahkan pulau dan laut kepada individu/swasta.
Ketiga faktor di atas hakikatnya adalah perwujudan Sistem Sekuler-Kapitalisme yang tengah diterapkan di negeri ini. Bencana paling besar yang telah memalingkan kaum muslimin, serta penyakit paling parah yang mereka derita dalam kehidupan mereka ini adalah masalah pemikiran yang menyangkut persoalan pemerintahan dan ekonomi. Karena pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak diterima dan disambut dengan penuh kebanggaan oleh kaum muslimin. Disamping pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat agar bisa diterapkan secara praktis, bahkan mereka senantiasa mengawasi upaya penerapannya itu dengan gigih dan terus-menerus.
SOLUSI ISLAM
Berlainan dengan kapitalisme, Islam memandang bahwa kemakmuran diukur dari terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat. Pemerintah harus memastikan setiap warganya telah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan) sekalipun harus berkeliling dari rumah ke rumah. Oleh karena itu, kebijakan tata ruang wilayah juga akan diselaraskan dengan konsep kemakmuran tiap-tiap individu termasuk kelestarian lingkungannya.
Islam juga mengatur 3 kepemilikan yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan publik. Lahan-lahan yang mempunyai pengaruh terhadap kemaslahatan rakyat tidak boleh dimiliki oleh swasta, tapi harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak, bukan hanya pemilik modal saja. Islam mengatur perkara tata ruang, pembangunan, dan konversi lahan. Jika ada lahan milik umum kemudian dikonversi menjadi milik pribadi, maka harus dilihat faktanya. Jalan, rel kereta api, pinggiran sungai, tepian pantai atau yang lain, maka lahan-lahan tersebut tidak boleh dikonversi atau digunakan untuk kepentingan pribadi, yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Jalan dibangun untuk melancarkan perjalanan, maka tidak boleh menggunakan jalan atau mengizinkan penggunaan jalan untuk menaruh barang dagangan, bahan bangunan, parkir mobil, kendaraan dan sebagainya, karena penggunaan seperti ini bisa merusak fungsi jalan sebagai jalan. Demikian juga rel kereta api dan lahannya, pinggiran sungai atau tepian pantai tidak boleh digunakan untuk tempat tinggal, atau kegiatan yang bisa mengalihkan fungsinya dari fungsi sehingga menghambat kelancaran kereta api, aliran sungai atau laut dan sebagainya.
Dalam Islam kawasan konservasi dan resapan air (catchment area) dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman ataupun perkebunan apalagi pertokoan/mall yang bisa merusak fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserap oleh kawasan di atasnya, karena telah dialihfungsikan.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan publik, seperti meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya. 
Sistem Islam memperhatikan kepentingan umat secara detail. Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk Jember. Rahmat yang dibawa Islam hanya bisa dirasakan dengan menerapkan Islam sebagai sistem secara menyeluruh, bukan setengah-setengah karena antara satu aspek dan aspek lainnya saling berkaitan. Sistem Islam ini juga hanya bisa diterapkan dalam institusi pemerintahan, Khilafah Islamiyyah. Wallahu A’lam bish-Showab.[]