Oleh: Sayyidah Najwa, S.P
PENDAHULUAN
Pada bulan Maret 2013 yang lalu sempat ramai di media mengenai isu RTRW
(Rencana Tata Ruang Wilayah) Kab.Jember tahun 2011-2031 yang disinyalir
sebagian naskahnya merupakan hasil jiplakan dari RTRW Kab.Kebumen dan
Kab.Wonosobo. Tim verifikasi Lembaga Penelitian
Universitas Jember menyimpulkan bahwa 10 dosen yang terlibat sebagai tim ahli
penyusunan matrik Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), peta dan draf
Raperda tentang RTRW Kab.Jember, ceroboh dan kurang profesional. Kasus
memalukan ini cukup menjadi bukti bahwa para pengambil kebijakan kurang serius
bekerja demi kepentingan rakyat. Bagaimana bisa RTRW yang menyangkut hajat hidup
orang banyak itu digarap dengan cara yang terkesan asal-asalan dan sekedar
formalitas? Belum lagi realitas di lapangan banyak terjadi tataguna lahan yang
tidak sesuai dengan RTRW bahkan hingga berakhir dengan bencana. Banjir, tanah
longsor, kekeringan, kenaikan suhu, hingga angin puting beliung seolah menjadi
musibah rutin yang tidak mampu dicegah.
Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di kabupaten
Jember pada 1 Januari 2006 salah satu penyebabnya adalah curah hujan sangat
tinggi selama tiga hari berturut-turut. Di samping itu, peristiwa banjir
bandang yang terjadi di kawasan Sub DAS Kali Putih kecamatan Panti kabupaten
Jember tersebut diprediksi akibat dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro
yang terletak di bagian utara Jember. Hutan sebagai pelindung banyak yang
ditebang sehingga gundul. Hal ini dapat dilihat dari longsoran tanah bercampur
air hujan menerjang dan yang membawa balok-balok kayu. Balok-balok kayu terbawa
banjir dominan dari Pohon Jati, Pinus, Mahoni yang merupakan ciri dari hasil
hutan produksi. Peristiwa ini merupakan kesalahan dari penataan ruang wilayah
Jember. Pegunungan Argopuro sebagai kawasan lindung yang merupakan daerah
resapan air (catchment area), beralih
menjadi perkebunan kakao dan kopi, serta hutan produksi kemudian terjadi
penebangan yang berakibat penggundulan (Putra, 2008). Akibatnya, saat hujan di
hulu maka daerah hilir rawan banjir dan longsor sedangkan saat kemarau rawan
kekeringan. Selain itu, Jember yang dahulunya tergolong daerah bersuhu rendah
kini makin panas. Daerah yang terkenal berbukit dan dahulunya dijuluki kota
seribu gumuk kini tak mampu menghalau angin. Dimanakah letak kesalahan tata
ruang wilayah Jember dan bagaimana solusinya?
AKAR MASALAH TATA RUANG JEMBER
Kabupaten Jember adalah sebuah kawasan yang terletak pada
bagian timur wilayah Propinsi Jawa Timur. Luas wilayah Kabupaten Jember adalah
3.293,34 km2 (atau
sebesar 7% dari luas wilayah Propinsi Jawa Timur) dengan karakter topografi
berbukit hingga pegunungan di sisi utara dan timur serta merupakan dataran
subur yang luas ke arah selatan. Secara garis besar wilayah Kabupaten Jember
dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Termasuk ke dalam kedua kawasan tersebut adalah kawasan rawan bencana yang
berupa tanah longsor yang terdapat di berbagai kecamatan. Tanah longsor
tersebut berada di daerah-daerah yang memiliki tingkat erosi tinggi, kawasan
pantai, dan tanah-tanah gundul di kawasan hutang lindung (Widodo, 2011).
Jika kita pelajari RTRW Kab.Jember maka dapat dicermati bahwa
visi penataan ruangnya sangat kental dengan nuansa kepentingan para pemilik
modal. Bupati Djalal sendiri menyatakan hendak menjadikan Jember sebagai
wilayah industri dan perdagangan, termasuk di dalamnya pengembangan area
pertambangan yang notabene terdapat di kawasan Taman Nasional Meru Betiri yakni
hutan lindung. Menurut data RTRW Kabupaten
Jember banyak sekali ditemukan penyimpangan. Data tersebut menunjukkan banyak
alih fungsi lahan yang seharusnya tidak terjadi, seperti rencana lahan yang
seharunya digunakan sebagai kawasan perkebunan seluas 255,30 km2 menjadi lebih luas 265,14 km2.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dalam hal tata guna lahan,
penambahan area perkebunan tersebut berasal dari konversi lahan hutan lindung
yang seharusnya keutuhan areanya dijaga guna melestarikan keseimbangan alam.
Alih fungsi lahan yang juga tidak tepat adalah berubahnya
tanah-tanah gumuk dan pertanian menjadi area bisnis properti dan pertokoan
bahkan mall. Gumuk-gumuk sebagai ekosistem alami penyeimbang tata ruang,
penahan erosi, penghalau angin kencang, penampung cadangan air saat kemarau,
kini dikeruk habis-habisan hingga rata dengan tanah lalu disulap menjadi
perumahan-perumahan mahal yang tidak terjangkau rakyat dan pada akhirnya banyak
yang kosong selama bertahun-tahun, hanya menjadi aset pribadi para pemodal. Akibatnya
rusaklah ekosistem alami, kekeringan dan angin kencang melanda Jember. Lahan
pertanian beralih fungsi, sebaliknya sebagian area hutan lindung ditanami
komoditas pertanian akibatnya erosi, banjir, dan longsor karena tanah tidak
lagi memiliki tanaman keras yang akarnya panjang untuk menyerap air dan
menghindari pengikisan. Berikut tabel potensi Jember dan kondisinya:
Potensi
|
Luas/jumlah
|
Rusak/beralih fungsi
|
Lokasi
|
Hutan lindung
|
39.821,8 Ha
|
6.600 Ha
|
Hyang-Argopuro, Meru Betiri, Baban Silosanen
|
Hutan
produksi
|
32.038,48 Ha
|
10.400 Ha
|
Panti, Bangsalsari, Jelbuk, Sumberbaru
|
Hutan suaka alam/wisata/taman nasional
|
70.000 Ha
|
31.163 Ha
|
Curahmanis, Nusa Barung, Peg.Hyang, Meru
Betiri
|
Lahan pertanian
|
85.000 Ha
|
4.250 Ha
|
Menyebar
|
Lahan perkebunan (kopi, kakao, dll)
|
21.523 Ha
|
|
Silo, Panti, Sumberbaru, Tanggul
|
Gumuk
|
1500 buah
|
503 buah
|
Sukowono,
Kalisat, Mayang, Puger
|
Tambang emas, perak, tembaga, galena
|
|
|
Silo dan
Tempurejo
|
Pasir besi
|
|
|
Kencong,
Ambulu, Puger
|
Migas
|
|
|
Gumukmas, Ambulu, Balung, Jombang, Umbulsari,
Wuluhan, Puger, Kencong
|
Panas bumi
|
|
|
Panti, Sukorambi, dan Bangsalsari
|
Perairan
|
8.338,5 km2
|
80% terumbu
karang rusak, pendangkalan
|
Puger,
Kencong, Ambulu, Gumukmas dan Tempurejo
|
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Tidak heran karena memang
perundang-undangan yang dibuat memberikan pelegalan atas tindakan tersebut.
Salah satunya dapat kita baca dalam PP No.16 tahun 2003 tentang Penatagunaan
Tanah pasal (3) huruf d “menjamin kepastian hukum untuk menguasai,
menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
ditetapkan”. Artinya bahwa
kepemilikan atas tanah tidak dibatasi asalkan suatu pihak memiliki modal untuk
membeli tanah. Sehingga meskipun dalam UU No.26 tahun 2007 pasal 7 tentang
Penataan Ruang ayat (1) menyebutkan “Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan ayat (2) menyebutkan “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan
ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah”, namun ayat (3) mengatur “Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki
orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Oleh karena itu “kemakmuran rakyat”
yang dimaksud di atas akhirnya dapat diterjemahkan menjadi “kemakmuran
pemodal”. Dengan kata lain, ruh dari RTRW Jember adalah liberalisasi sektor
publik.
Berbicara tentang tata ruang memang tidak dapat dipisahkan
dari visi kemakmuran rakyat, sehingga Bupati Djalal pun dengan pongahnya
mengklaim bahwa implementasi RTRW Jember yang telah dijalankannya memberikan
sumbangan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, terbukti dengan angka
pertumbuhan sebesar 7,35% (melampaui Jatim 7,27%). Pertanyaannya adalah
benarkah angka tersebut merupakan representasi dari kemakmuran seluruh rakyat?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jember, Nela Octaviana
mengatakan jumlah warga miskin yang disurvei pada PPLS tahun 2011 sebanyak
341.000 warga kategori miskin dan 90% di antaranya golongan menengah ke bawah
yang dikategorikan penerima raskin. Bahkan Jember merupakan kota yang paling
tinggi jumlah penduduk miskinnya di Jatim. Penduduk
miskin terbesar berada di area perkebunan dan sekitar hutan. Ini anomali bagi
pertumbuhan ekonomi di Jember (Pemkab Jember, 2010). Itu data versi BPS.
Sedangkan menurut Dinas Kesehatan Jember yang dilansir Kompas.com angka
kemiskinan selama 2011 di Jember tidak juga turun, justru bertambah. Ini
dibuktikan dengan bertambahnya jumlah keluarga yang menyandang predikat kurang
mampu agar tercatat sebagai peserta jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas)
dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Tahun lalu pemegang kartu Jamkesmas di
Jember berjumlah 382.229 orang, sedang penerima Jamkesda 13.061 orang. Tahun
ini pemegang Jamkesmas meningkat menjadi 395.360 orang dan Jamkesda menjadi
33.061 orang. Itu baru yang tercatat secara formal di lembaga pemerintah, belum
realitas di lapangan tentu lebih banyak lagi.
Jika
kita telaah ketimpangan tersebut, dapat dipahami bahwa fenomena ini terjadi
setidaknya karena 3 faktor. Pertama,
adanya kesalahan paradigmatif dalam memahami ukuran kemakmuran. Kemakmuran
diukur dari besarnya pertumbuhan ekonomi, padahal pertumbuhan ekonomi hanyalah prosentase
peningkatan PDRB dimana rumus PDRB adalah jumlah dari pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pemerintah,
pengeluaran investasi, dengan nilai ekspor dikurangi impor, sama sekali tidak
mewakili kesejahteraan tiap-tiap warga negara. Wajar bila sering ada paradoks
antara tingginya pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Paradigma yang
salah tersebut kemudian digunakan sebagai landasan untuk mengatur tata ruang
wilayah, akibatnya terjadilah tata guna lahan yang serampangan sesuai keinginan
para pemodal bukan berbasis kesejahteraan warga dan kelestarian ekosistem.
Kedua,
kesalahan memahami konsep kepemilikan, yakni hanya ada 2 kepemilikan yang
diakui: kepemilikan individu (termasuk swasta) dan negara. Dengan
diberlakukannya 2 kepemilikan ini wajar jika tidak ada ruang bagi kepentingan
publik. Seluruh lahan yang ada dianggap milik negara hingga ada individu/swasta
yang mampu membelinya, jika ada yang membutuhkan lahan namun tidak memiliki
modal maka siap-siap saja gigit jari karena negara tidak mungkin memberikannya
secara cuma-cuma sekalipun itu menyangkut nyawa warga maupun kepentingan
publik. Sebaliknya, jika ada yang memiliki modal hendak membeli suatu lahan
bahkan pulau sekalipun maka akan diberikan walau disana terdapat SDA dalam
jumlah besar yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Ketiga,
adanya kebijakan tata ruang yang pragmatis dan oportunis, lahir dari rahim
pemerintah yang hanya mengutamakan keuntungan material jangka pendek dan tidak
merata bahkan sarat kepentingan pemodal. Tidak peduli lagi apakah kebijakan
tersebut memberikan efek jangka panjang yang jauh lebih mahal. Hal yang
terpenting bagi mereka, kebijakan mana yang dapat menghasilkan uang dalam waktu
singkat walaupun harus menjual hutan lindung, gumuk, bahkan pulau dan laut
kepada individu/swasta.
Ketiga faktor di atas hakikatnya adalah perwujudan Sistem Sekuler-Kapitalisme
yang tengah diterapkan di negeri ini. Bencana paling besar yang telah
memalingkan kaum muslimin, serta penyakit paling parah yang mereka derita dalam
kehidupan mereka ini adalah masalah pemikiran yang menyangkut persoalan
pemerintahan dan ekonomi. Karena pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak
diterima dan disambut dengan penuh kebanggaan oleh kaum muslimin. Disamping
pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat agar bisa
diterapkan secara praktis, bahkan mereka senantiasa mengawasi upaya
penerapannya itu dengan gigih dan terus-menerus.
SOLUSI ISLAM
Berlainan dengan kapitalisme, Islam memandang bahwa
kemakmuran diukur dari terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat.
Pemerintah harus memastikan setiap warganya telah mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan) sekalipun harus
berkeliling dari rumah ke rumah. Oleh karena itu, kebijakan tata ruang wilayah
juga akan diselaraskan dengan konsep kemakmuran tiap-tiap individu termasuk
kelestarian lingkungannya.
Islam juga mengatur 3 kepemilikan yakni kepemilikan individu,
kepemilikan negara, dan kepemilikan publik. Lahan-lahan yang mempunyai pengaruh
terhadap kemaslahatan rakyat tidak boleh dimiliki oleh swasta, tapi harus
dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat banyak, bukan hanya pemilik modal
saja. Islam mengatur perkara tata ruang, pembangunan, dan konversi lahan. Jika
ada lahan milik umum kemudian dikonversi menjadi milik pribadi, maka harus
dilihat faktanya. Jalan, rel kereta api, pinggiran sungai, tepian pantai atau
yang lain, maka lahan-lahan tersebut tidak boleh dikonversi atau digunakan
untuk kepentingan pribadi, yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Jalan dibangun
untuk melancarkan perjalanan, maka tidak boleh menggunakan jalan atau
mengizinkan penggunaan jalan untuk menaruh barang dagangan, bahan bangunan,
parkir mobil, kendaraan dan sebagainya, karena penggunaan seperti ini bisa
merusak fungsi jalan sebagai jalan. Demikian juga rel kereta api dan lahannya,
pinggiran sungai atau tepian pantai tidak boleh digunakan untuk tempat tinggal,
atau kegiatan yang bisa mengalihkan fungsinya dari fungsi sehingga menghambat
kelancaran kereta api, aliran sungai atau laut dan sebagainya.
Dalam Islam kawasan konservasi dan resapan air (catchment area) dengan berbagai tanaman
dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman ataupun
perkebunan apalagi pertokoan/mall yang bisa merusak fungsinya. Ini juga merupakan
lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi)
agar tidak dirusak atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan,
maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air
kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserap oleh
kawasan di atasnya, karena telah dialihfungsikan.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan
paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan
kepentingan publik, seperti meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun
banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak
sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya
bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan
sebagaimana fungsi dan peruntukannya.
Sistem Islam memperhatikan kepentingan umat secara detail.
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk Jember. Rahmat yang
dibawa Islam hanya bisa dirasakan dengan menerapkan Islam sebagai sistem secara
menyeluruh, bukan setengah-setengah karena antara satu aspek dan aspek lainnya
saling berkaitan. Sistem Islam ini juga hanya bisa diterapkan dalam institusi
pemerintahan, Khilafah Islamiyyah. Wallahu
A’lam bish-Showab.[]