SENGSARA DI ALAM DEMOKRASI, SEJAHTERA
DALAM NAUNGAN KHILAFAH
Oleh: Sayyidah Najwa (dari berbagai sumber)
Muqoddimah
“Saya rasa, Demokrasi
ini cuma ilusi saja…”,
ini adalah sebuah pernyataan yang meluncur dari Ketua KPU Provinsi Jawa Timur,
Andry Dewanto Ahmad dalam sebuah seminar di Aula Fisip Unej 22 Mei 2012. Benar,
bagi orang-orang yang masih mempunyai akal sehat, yang masih mampu berpikir
rasional, pasti merasakan hal serupa. Demokrasi yang sejatinya hanyalah
“topeng” Kapitalisme, sejak hari kelahirannya hanya bisa mengumbar janji-janji
palsu kemakmuran dan mimpi-mimpi kesejahteraan. Lihatlah betapa sengsaranya
negeri ini, negeri yang katanya “paling demokratis” ini ternyata rakyatnya
terendam problema. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 mencapai 30.018.930 dengan garis kemiskinan di kota Rp 253.016,- per bulan sedangkan di desa Rp
213.395 per bulan. Jumlah
utang pada akhir Januari 2012 yang telah mencapai Rp 1837,39 triliun. Jumlah itu jika
dibagi dengan jumlah penduduk 239 juta maka tiap orang penduduk temasuk bayi
yang baru lahir sekalipun terbebani utang sebesar Rp 7,688 juta.
Kisah
yang sungguh tragis di tengah kekayaan alam yang melimpah. Areal hutan
Indonesia termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah.
Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa.
Wilayah perairannya sangat luas, garis pantainya terpanjang di dunia, kandungan
ikannya diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, belum lagi jandungan mutiara,
minyak, dan kandungan mineral lainnya, serta keindahan alam bawah lautan. Dari
potensi ikan saja, menurut menteri kelautan dan perikanan, bisa didapat devisa
lebih dari 8 miliar dolar AS setiap tahunnya. Di bawah perut bumi sendiri
tersimpan gas dan minyak cukup besar. Indonesia merupakan negara penghasil
minyak terbesar ke-29 di dunia. Cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun standard cubic feet) atau
terbesar ke-11 dunia. Dalam dunia pertambangan, Indonesia pun dikenal sebagai
negara yang kaya dengan kandungan mineral yang siap diangkat kapan saja.
Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah,
posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga dan posisi kelima untuk komoditas
nikel. Indonesia juga kaya batubara atau terbesar ke-15 dunia dengan jumlah
cadangan sebanyak 126 miliar ton. Negeri ini juga kaya dengan barang tambang
seperti emas, kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport
Indonesia, misalnya, konon termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh bila
McMoran Gold and Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang
sangat besar untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya (www.hizbut-tahrir.or.id).
Masalah paling berat yang telah memalingkan kaum
muslimin, serta penyakit paling parah yang mereka derita dalam kehidupan mereka
ini adalah masalah pemikiran yang menyangkut persoalan pemerintahan dan ekonomi.
Karena pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak diterima dan disambut
dengan penuh kebanggaan oleh kaum muslimin. Disamping pemikiran-pemikiran
inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat agar bisa diterapkan secara
praktis, bahkan mereka senantiasa mengawasi upaya penerapannya itu dengan gigih
dan terus-menerus. Apabila umat Islam dipimpin dengan mempergunakan sistem
Demokrasi secara de jure –dan ini merupakan usaha negara imperialis
Kafir supaya penjajahan serta sistem
mereka tetap bisa dipertahankan— maka umat Islam secara de facto dipimpin
dengan mempergunakan sistem ekonomi Kapitalis pada semua sektor kehidupan
perekonomiannya (An-Nabhani, 2009).
SDA
& SDEM di Mata Kapitalisme
Pilar ideologi
Kapitalisme adalah 4 kebebasan, yaitu kebebasan beraqidah, kebebasan
berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berperilaku. Konsep kebebasan
kepemilikan menjelma menjadi sistem ekonomi Kapitalis, yang memiliki karakter
penjajah/imperialis. Layaknya binatang buas, negara yang menganut Kapitalisme
akan senantiasa mencari “mangsa” untuk mempertahankan hegemoninya. Suatu negeri
yang memiliki kekayaan alam (SDA dan SDEM) yang melimpah akan menjadi incaran
Kapitalis. Sejarah mencatat bagaimana motif negara-negara penjajah seperti
Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Belanda menjelajah dunia untuk
menemukan sumber rempah-rempah di Indonesia. Berpadu dengan motif ideologis
yakni Perang Salib, negara-negara tersebut kemudian melakukan segala cara untuk
menguasai daerah-daerah kaya SDA yang mereka temui untuk dieksploitasi dan
dihisap. Tidak jauh berbeda dengan masa lalu, pada zaman modern sekarang,
negeri yang kaya SDA akan menarik perhatian bangsa yang tamak untuk
menguasainya. Bedanya dulu komoditas utama adalah rempah-rempah sedangkan sekarang
minyak. Daerah-daerah yang kaya tambang minyak seperti kawasan Timur Tengah dan
Asia Tengah hingga saat ini merupakan wilayah yang tidak pernah berhenti
bergejolak akibat invasi dan cengkraman imperialisme Barat, khususnya Amerika
Serikat, Inggris, dan Perancis.
Sebut saja Amerika
Serikat (AS), dalam situs International
Trade Centre disampaikan bahwa saat ini terdapat 277 perusahaan AS (parent company) yang
melakukan investasi langsung di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut
tersebar di berbagai sektor. Di sektor migas misalnya ada Cevron, Conocophillips, Exxon Mobile,
Halliburton dan Murphy Oil. Tiga perusahaan pertama pada 2009
menguasai 52 persen pengelolaan minyak di Indonesia. Di sektor pertambangan ada
Newmont Mining
dan Freeport-Mcmoran.
Di sektor pertanian dan peternakan ada Monsanto,
Dupon dan Chargill. Di sektor
perbankan dan investasi ada Citigroup
dan JP Morgan.
Di bidang perhotelan ada Hyat Group dan Mariot (Ritzl Carlton dan JW Mariot).
Di bidang farmasi ada: Pfizer,
Abbot, Procter & Gamble dan sejumlah perusahaan multinasional lainnya seperti: Philips Morris, Kraft, dan Cocacola. Dengan
liberalisasi investasi, kekayaan alam Indonesia yang semestinya dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyatnya justru semakin dikuasai oleh
investor asing termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan AS. Indonesia hanya
mendapatkan serpihan-serpihannya berupa pajak dan royalti yang jumlahnya sangat
minim. Itupun larinya entah kemana…
Isu globalisasi atau
liberalisasi ekonomi yang didorong oleh motif-motif imperialis negara-negara
maju menjadi aktor kunci penghisapan ekonomi di negara-negara berkembang.
Negara-negara Kapitalis dengan berkedok globalisasi mengunciposisi
negara-negara berkembang dalam pusaran liberalisasi ekonomi dan pasar bebas.
Globalisasi membentuk pemahaman bahwa kemakmuran suatu negara dapat diciptakan
dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi jalan
percepatan bagi sebuah negara untuk mencapai kemakmuran. Pertumbuhan ekonomi
dapat diwujudkan manakala pemerintah fokus pada kebijakan peningkatan PDB dan
PDRB. Upaya ini otomatis mendorong pemerintah untuk memperbesar APBN melalui
hutang. Pemerintah juga dengan sendirinya melakukan liberalisasi ekonomi dan
SDA untuk menarik masuknya investor, mencabut subsidi, menaikkan harga barang
publik, serta meningkatkan surplus ekspor dari komoditas primer.
Melalui kebijakan
liberal ini Indonesia menjadi tidak berdaulat atas sumber daya alam yang ada di
wilayahnya sendiri. Sistem ekonomi kapitalisme yang dianut oleh Indonesia
meniscayakan siapapun dapat memiliki apapun disertai minimnya campur tangan
negara. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap hal yang menguntungkan dapat
dikuasai oleh pihak swasta. Tidak terkecuali sumber daya alam yang menyangkut
kebutuhan orang banyak. Indonesia saat ini berada dalam posisi subordinat dari
kepentingan kapitalisme global. Cengkraman kapitalisme global juga telah
membuat negara abai dalam mengedepankan ketahanan nasional dan memilih untuk
mengedepankan kepentingan asing. Padahal kekayaan sumber daya alam memiliki
peran yang strategis bagi sebuah negara. Sumber daya alam yang melimpah tentu
saja dapat membuat sebuah negara menjadi maju dengan industrinya jika dikelola
dengan benar. Disinilah diperlukan kebijakan politik ekonomi dalam pengelolaan
SDA & SDEM yang tidak dimiliki oleh negeri ini.
Pengelolaan SDA & SDEM dalam
Islam
Menurut pandangan Islam, hutan dan
barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara yang
hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau
subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas
umum. Sistem ekonomi Islam melarang atas sesuatu yang menjadi milik umum
–termasuk dalam hal ini SDA & SDEM yang kandungannya sangat banyak– untuk
dimiliki individu. Baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah
payah –seperti garam, batubara, dan sebagainya– ataupun tambang yang berada di
dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras –seperti
tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya– baik berbentuk padat
semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum.
Pendapat bahwa sumber daya alam
milik umum harus dikelola oleh negara yang hasilnya diberikan kepada rakyat
dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam at-Turmidzi
dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis itu, disebutkan bahwa Abyad pernah meminta
kepada rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan
permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai
Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda
telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-’iddu).”
Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya.” Hadis tersebut
menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang
mengalir. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”,
melainkan tambangnya. Penarikan kembali pemberian rasul kepada Abyadh adalah ‘illat
(latar belakang hukum) dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum
–termasuk dalam hal ini SDA yang kandungannya sangat banyak– untuk dimiliki
individu. Dalam hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma’dan
al-milh).
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut
An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah
ditetapkan oleh syariat melalui baitul mal. Baitul mal adalah kas
negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh
negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya ditentukan oleh syariat
Islam.
Pemasukan dan pengeluarannya kas baitul
mal adalah:
1.
Sektor kepemilikan individu.
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu
ini berupa zakat, infak, dan sedekah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus
masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang
lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam)
harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh al-Quran surah at-Taubah ayat 60.
2.
Sektor kepemilikan umum.
Sektor ini mencakup segala milik
umum seperti hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dsb. Pemasukan
dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan: (a) Biaya eksplorasi dan
eksploitasi sumberdaya alam; mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan
infrastruktur, penyediaan perlengkapan, hingga segala hal yang berhubungan
dengan dua kegiatan pengelolaan SDA di atas. (b) Dibagikan secara langsung
kepada masyarakat yang memang merupakan pemilik SDA. Khalifah boleh
membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas,
minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan. (c)
Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan
jihad.
3.
Sektor kepemilikan negara.
Sumber-sumber pemasukan dari sektor
ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari tanah
‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk
pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah demi kepentingan negara dan
kemashlahatan umat.
Politik ekonomi Islam di dalam
pengelolaan SDA-nya mengharuskannya untuk berada di bawah politik industri yang
bertujuan untuk menjadikan negara sebagai negara industri. Terkait dengan
politik industri satu-satunya jalan untuk menjadi negara industri adalah
menciptakan industri yang menjadi basis seluruh industri. Industri ini adalah industri
yang menghasilkan industri alat-alat dan mesin (Abdurrahman al-Maliki, Politik
Ekonomi Islam). Sebut saja salah satu contohnya adalah industri migas,
politik industri mendorong negara memiliki kemampuan menghasilkan peralatan,
mesin, dan teknologi yang diperlukan untuk eksplorasi migas, lifting, dan
refinery. Kemandirian ini akan membuat biaya investasi menjadi lebih efisien.
Pengembangan teknologi dan industri migas selanjutnya akan menghasilkan
industri turunan. Misalnya aspal, lilin, plastik, pupuk, keramik, minyak
pelumas, dan lain sebagainya.
Pengelolaan SDA dan SDEM berbasis
syariah Islam tersebut hanya akan sempurna penerapannya dalam sebuah institusi
yang juga berbasis syariah, dialah Khilafah Islamiyyah. Politik ekonomi terpenting yang dilakukan
oleh Negara Khilafah Islam adalah memenuhi kebutuhan dasar dari setiap warga
negara, seperti makanan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Distribusi menjadi
perhatian utama dalam persoalan ekonomi. Dilakukan juga pemisahan yang jelas
antara pemilikan individu, negara, dan umum. Dengan demikian, pemilikan umum
yang seharusnya digunakan untuk rakyat, tidak jatuh ke tangan pemilik modal
yang kuat. Beberapa langkah pokok akan dilakukan oleh Negara Khilafah Islam
antara lain: memenuhi kebutuhan pokok rakyat, seperti makanan, pakaian dan
perumahan; memberikan fasilitas gratis untuk pendidikan dan kesehatan; menolak
utang luar negeri dari negara-negara Imperialis, seperti AS karena telah
nyata-nyata digunakan untuk menguasai kaum muslim; membangun kemandirian dalam
bidang pertanian, industri, dan pengembangan militer. Hal ini akan melepaskan
ketergantungan dari Barat; membangun sistem moneter yang kokoh berdasarkan mata
uang emas dan perak; serta melarang praktik-praktik ekonomi kotor, seperti
monopoli, bunga (riba), suap menyuap, dan pemerasan. Tindakan Negara Khilafah
Islam ini akan membebaskan negeri-negeri Islam dari ketergantungan ekonomi dan
politik terhadap Barat. Negara Khilafah yang mandiri akan menjadi Negara
adidaya yang disegani di dunia internasional.