Minggu, 27 Mei 2012


SENGSARA DI ALAM DEMOKRASI, SEJAHTERA DALAM NAUNGAN KHILAFAH
 Oleh: Sayyidah Najwa (dari berbagai sumber)

Muqoddimah

“Saya rasa, Demokrasi ini cuma ilusi saja…”, ini adalah sebuah pernyataan yang meluncur dari Ketua KPU Provinsi Jawa Timur, Andry Dewanto Ahmad dalam sebuah seminar di Aula Fisip Unej 22 Mei 2012. Benar, bagi orang-orang yang masih mempunyai akal sehat, yang masih mampu berpikir rasional, pasti merasakan hal serupa. Demokrasi yang sejatinya hanyalah “topeng” Kapitalisme, sejak hari kelahirannya hanya bisa mengumbar janji-janji palsu kemakmuran dan mimpi-mimpi kesejahteraan. Lihatlah betapa sengsaranya negeri ini, negeri yang katanya “paling demokratis” ini ternyata rakyatnya terendam problema. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 mencapai 30.018.930  dengan garis kemiskinan di kota Rp 253.016,- per bulan sedangkan di desa Rp 213.395 per bulan. Jumlah utang pada akhir Januari 2012 yang telah mencapai Rp 1837,39 triliun. Jumlah itu jika dibagi dengan jumlah penduduk 239 juta maka tiap orang penduduk temasuk bayi yang baru lahir sekalipun terbebani utang sebesar Rp 7,688 juta.

Kisah yang sungguh tragis di tengah kekayaan alam yang melimpah. Areal hutan Indonesia termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, garis pantainya terpanjang di dunia, kandungan ikannya diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, belum lagi jandungan mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya, serta keindahan alam bawah lautan. Dari potensi ikan saja, menurut menteri kelautan dan perikanan, bisa didapat devisa lebih dari 8 miliar dolar AS setiap tahunnya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak cukup besar. Indonesia merupakan negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Cadangan gasnya mencapai 160 TSCF (triliun standard cubic feet) atau terbesar ke-11 dunia. Dalam dunia pertambangan, Indonesia pun dikenal sebagai negara yang kaya dengan kandungan mineral yang siap diangkat kapan saja. Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga dan posisi kelima untuk komoditas nikel. Indonesia juga kaya batubara atau terbesar ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanyak 126 miliar ton. Negeri ini juga kaya dengan barang tambang seperti emas, kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, misalnya, konon termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh bila McMoran Gold and Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang sangat besar untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (www.hizbut-tahrir.or.id).

Masalah paling berat yang telah memalingkan kaum muslimin, serta penyakit paling parah yang mereka derita dalam kehidupan mereka ini adalah masalah pemikiran yang menyangkut persoalan pemerintahan dan ekonomi. Karena pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak diterima dan disambut dengan penuh kebanggaan oleh kaum muslimin. Disamping pemikiran-pemikiran inilah yang paling banyak direkayasa oleh Barat agar bisa diterapkan secara praktis, bahkan mereka senantiasa mengawasi upaya penerapannya itu dengan gigih dan terus-menerus. Apabila umat Islam dipimpin dengan mempergunakan sistem Demokrasi secara de jure –dan ini merupakan usaha negara imperialis Kafir supaya penjajahan  serta sistem mereka tetap bisa dipertahankan— maka umat Islam secara de facto dipimpin dengan mempergunakan sistem ekonomi Kapitalis pada semua sektor kehidupan perekonomiannya (An-Nabhani, 2009).

SDA & SDEM di Mata Kapitalisme
  
Pilar ideologi Kapitalisme adalah 4 kebebasan, yaitu kebebasan beraqidah, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berperilaku. Konsep kebebasan kepemilikan menjelma menjadi sistem ekonomi Kapitalis, yang memiliki karakter penjajah/imperialis. Layaknya binatang buas, negara yang menganut Kapitalisme akan senantiasa mencari “mangsa” untuk mempertahankan hegemoninya. Suatu negeri yang memiliki kekayaan alam (SDA dan SDEM) yang melimpah akan menjadi incaran Kapitalis. Sejarah mencatat bagaimana motif negara-negara penjajah seperti Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Belanda menjelajah dunia untuk menemukan sumber rempah-rempah di Indonesia. Berpadu dengan motif ideologis yakni Perang Salib, negara-negara tersebut kemudian melakukan segala cara untuk menguasai daerah-daerah kaya SDA yang mereka temui untuk dieksploitasi dan dihisap. Tidak jauh berbeda dengan masa lalu, pada zaman modern sekarang, negeri yang kaya SDA akan menarik perhatian bangsa yang tamak untuk menguasainya. Bedanya dulu komoditas utama adalah rempah-rempah sedangkan sekarang minyak. Daerah-daerah yang kaya tambang minyak seperti kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah hingga saat ini merupakan wilayah yang tidak pernah berhenti bergejolak akibat invasi dan cengkraman imperialisme Barat, khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.

Sebut saja Amerika Serikat (AS), dalam situs International Trade Centre disampaikan bahwa saat ini terdapat 277 perusahaan AS (parent company) yang melakukan investasi langsung di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di berbagai sektor. Di sektor migas misalnya ada Cevron, Conocophillips, Exxon Mobile, Halliburton dan Murphy Oil. Tiga perusahaan pertama pada 2009 menguasai 52 persen pengelolaan minyak di Indonesia. Di sektor pertambangan ada Newmont Mining dan Freeport-Mcmoran. Di sektor pertanian dan peternakan ada Monsanto, Dupon dan Chargill. Di sektor perbankan dan investasi ada Citigroup dan JP Morgan. Di bidang perhotelan ada Hyat Group dan Mariot (Ritzl Carlton dan JW Mariot). Di bidang farmasi ada: Pfizer, Abbot, Procter & Gamble dan sejumlah perusahaan multinasional lainnya seperti: Philips Morris, Kraft, dan Cocacola. Dengan liberalisasi investasi, kekayaan alam Indonesia yang semestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyatnya justru semakin dikuasai oleh investor asing termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan AS. Indonesia hanya mendapatkan serpihan-serpihannya berupa pajak dan royalti yang jumlahnya sangat minim. Itupun larinya entah kemana…

Isu globalisasi atau liberalisasi ekonomi yang didorong oleh motif-motif imperialis negara-negara maju menjadi aktor kunci penghisapan ekonomi di negara-negara berkembang. Negara-negara Kapitalis dengan berkedok globalisasi mengunciposisi negara-negara berkembang dalam pusaran liberalisasi ekonomi dan pasar bebas. Globalisasi membentuk pemahaman bahwa kemakmuran suatu negara dapat diciptakan dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi jalan percepatan bagi sebuah negara untuk mencapai kemakmuran. Pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan manakala pemerintah fokus pada kebijakan peningkatan PDB dan PDRB. Upaya ini otomatis mendorong pemerintah untuk memperbesar APBN melalui hutang. Pemerintah juga dengan sendirinya melakukan liberalisasi ekonomi dan SDA untuk menarik masuknya investor, mencabut subsidi, menaikkan harga barang publik, serta meningkatkan surplus ekspor dari komoditas primer.

Melalui kebijakan liberal ini Indonesia menjadi tidak berdaulat atas sumber daya alam yang ada di wilayahnya sendiri. Sistem ekonomi kapitalisme yang dianut oleh Indonesia meniscayakan siapapun dapat memiliki apapun disertai minimnya campur tangan negara. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap hal yang menguntungkan dapat dikuasai oleh pihak swasta. Tidak terkecuali sumber daya alam yang menyangkut kebutuhan orang banyak. Indonesia saat ini berada dalam posisi subordinat dari kepentingan kapitalisme global. Cengkraman kapitalisme global juga telah membuat negara abai dalam mengedepankan ketahanan nasional dan memilih untuk mengedepankan kepentingan asing. Padahal kekayaan sumber daya alam memiliki peran yang strategis bagi sebuah negara. Sumber daya alam yang melimpah tentu saja dapat membuat sebuah negara menjadi maju dengan industrinya jika dikelola dengan benar. Disinilah diperlukan kebijakan politik ekonomi dalam pengelolaan SDA & SDEM yang tidak dimiliki oleh negeri ini.



Pengelolaan SDA & SDEM dalam Islam
Menurut pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Sistem ekonomi Islam melarang atas sesuatu yang menjadi milik umum –termasuk dalam hal ini SDA & SDEM yang kandungannya sangat banyak– untuk dimiliki individu. Baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah –seperti garam, batubara, dan sebagainya– ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras –seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya– baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum.

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara yang hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis itu, disebutkan bahwa Abyad pernah meminta kepada rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-’iddu).” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya.” Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Penarikan kembali pemberian rasul kepada Abyadh adalah ‘illat (latar belakang hukum) dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum –termasuk dalam hal ini SDA yang kandungannya sangat banyak– untuk dimiliki individu. Dalam hadis yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma’dan al-milh).

Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui baitul mal. Baitul mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan maupun pengeluarannya ditentukan oleh syariat Islam.

Pemasukan dan pengeluarannya kas baitul mal adalah:

1.       Sektor kepemilikan individu.

Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infak, dan sedekah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran surah at-Taubah ayat 60.

2.       Sektor kepemilikan umum.

Sektor ini mencakup segala milik umum seperti hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dsb. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan: (a) Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam; mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, hingga segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan SDA di atas. (b) Dibagikan secara langsung kepada masyarakat yang memang merupakan pemilik SDA. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan. (c) Sebagian dari kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.


3.       Sektor kepemilikan negara.

Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah demi kepentingan negara dan kemashlahatan umat.

Politik ekonomi Islam di dalam pengelolaan SDA-nya mengharuskannya untuk berada di bawah politik industri yang bertujuan untuk menjadikan negara sebagai negara industri. Terkait dengan politik industri satu-satunya jalan untuk menjadi negara industri adalah menciptakan industri yang menjadi basis seluruh industri. Industri ini adalah industri yang menghasilkan industri alat-alat dan mesin (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam). Sebut saja salah satu contohnya adalah industri migas, politik industri mendorong negara memiliki kemampuan menghasilkan peralatan, mesin, dan teknologi yang diperlukan untuk eksplorasi migas, lifting, dan refinery. Kemandirian ini akan membuat biaya investasi menjadi lebih efisien. Pengembangan teknologi dan industri migas selanjutnya akan menghasilkan industri turunan. Misalnya aspal, lilin, plastik, pupuk, keramik, minyak pelumas, dan lain sebagainya.
         
Pengelolaan SDA dan SDEM berbasis syariah Islam tersebut hanya akan sempurna penerapannya dalam sebuah institusi yang juga berbasis syariah, dialah Khilafah Islamiyyah. Politik ekonomi terpenting yang dilakukan oleh Negara Khilafah Islam adalah memenuhi kebutuhan dasar dari setiap warga negara, seperti makanan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Distribusi menjadi perhatian utama dalam persoalan ekonomi. Dilakukan juga pemisahan yang jelas antara pemilikan individu, negara, dan umum. Dengan demikian, pemilikan umum yang seharusnya digunakan untuk rakyat, tidak jatuh ke tangan pemilik modal yang kuat. Beberapa langkah pokok akan dilakukan oleh Negara Khilafah Islam antara lain: memenuhi kebutuhan pokok rakyat, seperti makanan, pakaian dan perumahan; memberikan fasilitas gratis untuk pendidikan dan kesehatan; menolak utang luar negeri dari negara-negara Imperialis, seperti AS karena telah nyata-nyata digunakan untuk menguasai kaum muslim; membangun kemandirian dalam bidang pertanian, industri, dan pengembangan militer. Hal ini akan melepaskan ketergantungan dari Barat; membangun sistem moneter yang kokoh berdasarkan mata uang emas dan perak; serta melarang praktik-praktik ekonomi kotor, seperti monopoli, bunga (riba), suap menyuap, dan pemerasan. Tindakan Negara Khilafah Islam ini akan membebaskan negeri-negeri Islam dari ketergantungan ekonomi dan politik terhadap Barat. Negara Khilafah yang mandiri akan menjadi Negara adidaya yang disegani di dunia internasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar